Mengambil pelajaran dan ibrah dari pelajaran umat terdahulu
sangat dianjurkan bahkan ditekankan dalam syariat ini. Di antara dalil-dalil
yang menyebutkannya adalah firman Allah ‘Azza wa Jalla :
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat
pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.” (Yusuf : 111)
Juga datang dari sunnah Nabawiyah yang shahihah, di mana
beliau mengisahkan kepada para shahabatnya kisah umat-umat terdahulu, sebelum
umat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Itupun karena keinginan yang kuat
dari beliau agar para shahabatnya mendulang ibrah dan untaian mutiara yang
tersimpan di dalam kisah tersebut.
Maka dari itu, berikut ini akan dituturkan sepenggal kisah
dari umat terdahulu berupa nasihat yang disampaikan oleh orang tua kepada
putrinya di saat hari pernikahannya. Dengan harapan semoga engkau bisa memetik
pelajaran dan mengambil ibrah sebagai pegangan dirimu dalam mengarungi
samudera, mengayuh bahtera sesama suami tercinta.
Ibnul Jauzi rahimahullah di dalam Ahkamun Nisa’ berkata,
“Dari ‘Abdul Malik bin ‘Umair, dia mengisahkan :
‘Auf bin Mulham asy-Syaibani menikahkan putrinya dengan
Ilyas bin al-Harits bin ‘Amr al-Kindi. Setelah sang putri dirias dan disiapkan
untuk dibawa kepada suaminya, ibunya masuk menemuinya untuk berwasiat. Sang Ibu
berkata,
“Wahai putriku! Seandainya wasiat tidak lagi diberikan
kepada seseorang yang beradap utama atau bernasab mulia, pasti wasiat ini
takkan kuberikan kepadamu dan kuhindarkan darimu. Akan tetapi, wasiat adalah
peringatan bagi orang yang lalai dan pengetahuan bagi orang yang berakal.
Wahai putriku! Seandainya seorang wanita tidak membutuhkan
suami karena kekayaan ayahnya dan karena sangat butuh dia kepada ayahnya,
pastilah engkau menjadi orang yang paling tidak butuh kepada suami. Akan
tetapi, wanita itu tercipta untuk pria, sebagaimana untuk wanitalah pria
tercipta.
Wahai putriku! Sesungguhnya engkau hendak meninggalkan tanah
kelahiranmu, dan rumah yang di dalamnya engkau tumbuh. Engkau menuju tempat
yang asing dan teman yang belum kaukenal. Dan kekuasaannya dia menjadi tuanmu.
Maka dari itu, jadilah budaknya, pasti dia juga menjadi budakmu. Jagalah
sepuluh hal yang dapat menjadi simpanan berharga bagimu ini.
Perangai pertama dan kedua, bergaullah dengannya dengan penuh
qana’ah, serta dengar dan taatlah kepadanya dengan baik. Dalam qana’ah ada
kelapangan hati; dalam baiknya sikap mendengar dan taat ada ridha Rabbmu.
Ketiga dan keempat, jagalah perciuman dan penglihatannya.
Jangan sampai matanya melihat pada dirimu sesuatu yang buruk, dan jangan sampai
dia mencium darimu melainkan bau paling harum. Sesungguhnya perhiasan terbaik
adalah celak, sedangkan wewangian terbaik adalah air.
Kelima dan keenam, perhatikanlah makanannya dan ciptakan
suasana tenang pada waktu tidurnya. Panasnya rasa lapar akan menyulut emosi,
sedangkan susah tidur membangkitkan kemarahan.
Ketujuh dan kedelapan, jagalah hubungan dengan sanak saudara
dan keluarganya, serta jagalah hartanya. Menjaga harta menunjukkan baiknya
pertimbangan, sedangkan memerhatikan sanak saudara dan keluarga menunjukkan
baiknya pengaturan.
Kesembilan dan kesepuluh, jangan menyebarkan rahasia, dan
jangan pernah menentangnya dalam suatu urusan pun. Jika menyebarkan rahasianya,
engkau tidak aman dari pengkhianatannya. Jika menentang perintahnya, engkau
telah mengobarkan kemarahannya.
Kemudian, hati-hati wahai putriku! Jangan bergembira ketika
dia bersedih, dan jangan bermuram durja ketika dia bergembira. Perilaku pertama
merupakan kelalaian, sedangkan perilaku kedua merupakan penyusahan.
Muliakan, agungkan, dan temanilah dia semampumu!
Ketahuilah wahai putriku, bahwa engkau tidak akan sampai
pada apa yang kau sukai dari dirinya hingga kau utamakan ridhanya di atas
ridhamu, dan keinginannya diatas keinginanmu, baik pada perkara yang kau sukai
maupun yang kau benci. Semoga Allah memberikan yang terbaik kepadamu dan
menjagamu.”
Sang putri pun dibawa kepada suaminya.
Ternyata, dia memiliki peranan besar bagi suaminya itu. Dia
melahirkan raja-raja yang berkuasa setelah ayah mereka. [60]
Disebutkan pula dalam Ahkamun Nisa’ bhwa Asma’ bintu
Kharijah al-Firaziy berpesan kepada putrinya ketika menikah : “Sesungguhnya
kamu -wahai putriku- telah keluar dari satu kehidupan dan akan memasuki jenjang
kehidupan berikutnya, kamu akan menuju tempat tidur yang asing bagimu, bersama
teman yang belum akrab denganmu.
Maka jadilah kamu baginya, niscaya dia akan menjadi langit
yang menaungimu. Jadilah hamparan baginya, niscaya dia akan menjadi tiang
pengokohmu. Jadilah kamu budak wanitanya, niscaya dia akan menjadi budak
laki-lakimu. Jangan kamu terus mendesaknya sehingga dia akan membencimu.
Apabila dia memanggilmu maka mendekatlah, apabila dia mengeluh darimu maka
menjauhlah. Jagalah hidung, telinga, dan matanya, jangan sampai dia mencium bau
darimu kecuali wangi dan jangan sampai dia melihat kepadamu kecuali
kecantikan.” [61]
Berikut ini akan dinukilkan satu kisah menarik dari
sepanjang di malam pertamanya :
Seorang suami bercerita kepada temannya, “Selama dua puluh
tahun hidup bersama, belum pernah aku melihat dari istriku perkara yang dapat
membuatku marah.”
Maka berkata temannya dengan heran, “Bagaimana hal itu bisa
terjadi?”
Suami tersebut berkata, “Pada malam pertama aku masuk
menemui istriku, aku mendekat padanya dan aku hendak menggapainya dengan tanganku,
maka ia berkata, “Janganlah tergesa-gesa wahai Anu Umayyah.” Lalu ia berkata,
“Segala puji bagi Allah dan shalawat atas Rasulullah... Aku adalah wanita yang
asing, aku tidak tahu tentang akhlakmu, maka terangkanlah kepadaku apa yang
engkau sukai niscaya aku akan melakukannya, dan apa yang engkau tidak sukai
niscaya aku akan meninggalkannya.”
Kemudian ia berkata, “Aku ucapakan perkataan ini dan aku
mohon ampun kepada Allah untuk diriku dan dirimu.”
Berkata sang suami kepada temannya, “Demi Allah, ia
mengharuskan aku untuk berkhutbah pada kesempatan tersebut. Maka aku katakan :
Segala puji bagi Allah dan aku mengucapkan shalawat dan salam atas Nabi dan
keluarganya. Sungguh engkau telah mengucapkan suatu kalimat yang bila engkau
tetap berpegang padanya, maka itu adalah kebahagiaan untukmu dan jika engkau
tinggalkan (tidak melaksanakannya) jadilah itu sebagai bukti untuk
menyalahkanmu. Aku menyukai ini dan itu, dan aku benci ini dan itu. Apa yang
engkau lihat dari kebaikan maka sebarkanlah dan apa yang engkau lihat dari
kejelekan tutupilah.”
Istriku berkata, “Apakah engkau suka bila aku mengunjungi
keluarganya?” Aku menjawab, “Aku tidak suka kerabat istriku bosan terhadapku”
(yakni si suami tidak menginginkan istrinya sering berkunjung).
Ia berkata lagi, “Siapa di antara tetanggamu yang engkau
suka untuk masuk ke rumahmu maka aku akan izinkan ia masuk ? Dan siapa yang
engkau tidak sukai maka aku pun tidak menyukainya ?”
Aku katakan, “Bani Fulan adalah kaum yang saleh dan Bani
Fulan adalah kaum yang jelek.”
Berkata sang suami kepada temannya, “Lalu aku melewati malam
yang paling indah bersamanya. Dan aku hidup bersamanya selama setahun dalam
keadaan tidak pernah aku melihat kecuali apa yang aku sukai. Suatu ketika di
permulaan tahun, tatkala aku pulang dari tempat kerjaku... Lalu ibu mertuaku
berkata kepadaku, “Bagaimana pendapatmu tentang istrimu?” Aku jawab, “Ia
sebaik-baik istri.”
Ibu mertuaku berkata, “Wahai Abu Umayyah... Demi Allah,
tidak ada yang dimiliki para suami di rumah-rumah mereka yang lebih jelek
daripada istri penentang (lancang). Maka didiklah dan perbaikilah akhlaknya
sesuai dengan kehendakmu.”
Berkata sang suami, “Maka ia tinggal bersamaku selama dua
puluh tahun, belum pernah aku mengingkari perbuatannya sedikitpun kecuali
sekali, itupun karena aku berbuat zalim padanya.” [62]
______o0o______
60. Ahkamun Nisa’ karya Ibnul Jauzi rahimahullah hal.
142-143
61. Ibid.
62. Al-Masyakil az-Zaujiyyah wa Hululuha fi dhau’il Kitab
was Sunnah wal Ma’ariful Haditsiyah oleh Muhammad Utsman al-Khasyat, hal. 28-29
[Ditulis ulang dari : “Engkau Bukan Bidadari” hal. 65-72,
oleh Abu ‘Umar ‘Ubadah]
0 komentar:
Posting Komentar