Akhi fillah, baarakallahu fiik…
Berikut ini Ana akan menukilkan beberapa kalimat bijak dari Al-Imam Ahmad. Mudah-mudahan bermanfaat untuk Ana pribadi.
1. Rasa takut telah membuatku tidak mampu makan dan minum. Jika aku mengingat kematian, seluruh urusan dunia terasa ringan bagiku. Dunia itu hanya sebatas makan dan minum, pakaian lalu pakaian. Dunia itu hanya hari-hari yang pendek. Tidak ada yang bias melebihi nikmatnya kefakiran. Seandainya ada jalan, aku ingin pergi saja agar tidak diingat-ingat lagi
Sungguh, rasa-rasanya ingin mencapai
tataran ilmu Al-Imam Ahmad di dalam memandang dunia.
Ya, bila dunia telah
menjadi rendah dan hina di hati, maka tidak ada lagi kesedihan dan rasa keluh.
Segala-galanya diukur dengan kepentingan akhirat. Rumah tinggal sesungguhnya
yang bersifat kekal abadi.
Memang, untuk sampai ke tataran tersebut
diperlukan waktu yang panjang. Harus melalui perenungan ayat-ayat Al-Qur’an dan
sabda-sabda Rasulullah juga teladan para ulama. Namun, janganlah pernah
berputus asa!
Dan orang-orang
yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan
Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta
orang-orang yang berbuat baik. (QS.
29:69)
2. Aku ingin sekali hidup di lembah-lembah negeri
Mekkah agar tidak dikenali. Sungguh aku telah diuji dengan ketenaran.
Sesungguhnya pagi dan petang aku selalu berharap kematian.
Semoga Allah merahmati Al-Imam Ahmad…
Alangkah bedanya dengan diri kita yang
sangat hina ini! Ingin terkenal dan cinta popularitas. Bercita-cita menjadi
orang tenar, walaupun tidak terucap lisan secara terang.
Alangkah jauhnya dengan diri kita yang
jahil ini! Semua yang kita lakukan rasa-rasanya ingin diupdate statusnya. Agar
sebanyak mungkin teman dan sahabat menyambang “comment” di dinding catatan.
Duhai bahagianya jika yang mengcomment amat banyak!
Padahal siapa kita???
Bandingkan dengan Al-Imam Ahmad yang memang
pantas untuk disebut-sebut dan dipuji! Ternyata beliau malah ingin hidup di
lembah sunyi agar tidak dikenali.
3. Setiap orang yang pernah menyakitiku telah
aku maafkan kecuali ahli bid’ah. Sungguh aku telah memaafkan Abu Ishaq
(khalifah Al Mu’tashim). Aku membaca firman Allah :
وَلْيَعْفُوا
وَلْيَصْفَحُوا أَلا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ
رَحِيمٌ
“…Dan hendaklah mereka
mema’afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin Allah mengampunimu? Dan
Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. An-Nuur [24] : 22)
Nabi Muhammad juga memerintahkan Abu Bakar untuk memaafkan
Misthah.
Apa untungnya untukmu jika Allah menyiksa
saudaramu muslim karena sebab dirimu (yang tidak mau memaafkannya)
Memang tidak mudah menjadi hamba pemaaf!
Oleh sebab itu, janji-janji dari Allah untuk hamba yang pemaaf memang sangat
mulia.
Padahal, jika direnungkan kembali,
dosa-dosa dan kesalahan kita kepada Allah tidak terukur lagi. Namun,
subhaanallah, Allah adalah Dzat yang maha membari maaf dan maha menerima
taubat. Bahkan dosa syirik sekalipun Allah maafkan jika diiringi taubat.
Lalu, kita sebagai makhluk lemah dan penuh
kedzaliman, apa yang menghalangi kita untuk menjadi hamba pemaaf? Tiada lain
kecuali karena kesombongan dan kerasnya hati.
Bercerminlah pada diri sendiri sebelum
menilai orang lain!
Sambil menggenggam jari jemari, Al-Imam Ahmad melanjatkan, “ Seandainya nyawaku berada ditanganku, pasti telah aku lepaskan”. Kemudian beliau membuka genggaman tersebut.
Dahulu di masa Al Makmun, Al Mu’tashhim, Al Watsiq, dan dua tahun awal pemerintahan Al Mutawakkil , Al-Imam Ahmad diuji dengan siksaan dan penjara. Demi mempertahankan akidah beliau tetap bersabar.
Kemudian, setelah dua tahun Al Mutawakkil memimpin, Al Imam Ahmad diuji dengan harta dunia. Sebab, Al Mutawakkil menghapuskan akidah sesat itu dari pemerintahannya. Al Mutawakkil sering mengutus orang untuk menyerahkan harta dalam jumlah yang sangat banyak untuk Al-Imam Ahmad. Namun, Al –Imam Ahmad menolak.
Luar biasa !
Beliau adalah teladan di dalam bersikap
sabar dan tegar ketika menghadapi ujian agama dan dunia. Rahimahullah
Pelajaran penting! Dalam urusan agama, tidak ada kebebasan berfikir dan berpendapat. Semua pendapat dan wacana dalam ruang beragama harus ditetapkan di atas pondasi dalil dan hujjah yaitu Al Qur’an dan Sunnah. Selain itu harus dipahami sesuai pemahaman para ulama Salaf!
Itulah sikap beragama yang benar!
6. Rizki itu telah dibagi, tidak akan bertambah atau berkurang.
6. Rizki itu telah dibagi, tidak akan bertambah atau berkurang.
Rizki itu disebut bertambah jika pemiliknya
memperoleh kemudahan dari Allah untuk menginfakkannya dalam ketaatan. Hal
itulah yang akan mengingatkan dan menambah rizki.
Demikian pula ajal manusia. Tidak akan mungkin bertambah atau berkurang.
Demikian pula ajal manusia. Tidak akan mungkin bertambah atau berkurang.
Hanya dengan ketaatan umur akan bertambah.
Sementara umur akan berkurang dengan maksiat. Adapun rentang waktu umur tidak
akan bertambah atau berkurang.
Kemudian Al-Imam Ahmad membaca firman
Allah,
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَاءَ
أَجَلُهُمْ لا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلا يَسْتَقْدِمُونَ
Tiap-tiap umat
mempunyai batas waktu; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat
mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) memajukannya.
(QS.
Al-‘Araf [7] : 34)
Beliau membimbing kita untuk menilai rizki
dan umur secara hakiki. Rizki dan umur sudah ditentukan oleh Allah. Tidak akan
mungkin berkurang atau bertambah.
Namun, keberkahan rizki dan umur adalah
cita-cita dan tekad kita. Caranya? Dengan memanfaatkan rizki dan umur di dalam
ketaatan. Seribu rupiah untuk bersedekah kepada kaum fakir tentu lebih besar
nilainya di sisi Allah dibandingkan seratus ribu yang digunakan untuk membeli
rokok, misalnya.
Walaupun hanya berusia 30 tahun lalu
meninggal dunia namun dimakmurkan dengan ibadah, tentu lebih bernilai di sisi
Allah dibandingkan hidup setengah Abad namun berkubang maksiat. Na’udzu billah
min dzalik.
[Diketik ulang
www.pemetik-ilmu.blogspot.com dari buku “Dari Ayunan Sampai Liang Lahat IMAM
AHMAD rahimahullah Pemuda Ilmu dari Negeri Baghdad, Abu Nasiim Mukhtar “iben”
Rifai La Firlaz.]
0 komentar:
Posting Komentar